Jejak Pulau Legendaris di Tanjungpinang dalam Lintasan Waktu
![]() |
| Pulau legendaris bernama Pulau Bayan yang terletak di perlintasan Hulu Riau Tanjungpinang, 2008 silam. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar |
Pulau Legendaris yang Menjadi Benteng Pertahanan hingga Hotel Mewah
Benteng Pertahanan Bernama Pulau Bayan
![]() |
| Pulau legendaris bernama Pulau Bayan yang terletak di perlintasan Hulu Riau Tanjungpinang tahun 2025. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar |
Peneliti Sejarah BRIN, Dedi Arman menjelaskan bahwa Raja Ali menjadikan area strategis Pulau Bayan sebagai pusat aktivitas pemerintahan sekaligus pertahanan.
Raja Ali juga melanjutkan kepemimpinan perang melawan kolonial setelah wafatnya Raja Haji Fisabilillah di Teluk Ketapang Malaka pada 1784.
"Setelah Raja Haji Fisabilillah wafat saat bertempur di Teluk Ketapang Malaka, Raja Ali lah yang kemudian menjadi pemimpin perang melawan kolonial," sebut Dedi.
Kini, tapak istana maupun struktur benteng di Pulau Bayan tidak lagi tersisa. Meski demikian, posisinya tetap dikenang sebagai bagian penting dari sistem pertahanan tempo dulu.
"Raja Ali yang pernah menempati Pulau Bayan ini dimakamkan di kawasan Tanjungunggat Tanjungpinang," terang Dedi.
Baca Juga: Asal Usul Istilah "Batu" Jejak Legendaris Penanda Tempat di Kota Lama Tanjungpinang
Saat kolonial berkuasa, fungsi Pulau Bayan mulai bergeser. Pemerintah kolonial sempat menjadikannya sebagai lokasi kedudukan Residen Riau pertama.
"Penguasaan ini merupakan bentuk penegasan dominasi sekaligus kontrol atas kawasan strategis Hulu Riau Tanjungpinang," jelas Dedi.
Pada masa antara tahun 1942 hingga 1945, Pulau Bayan kembali menjadi wilayah yang dikuasai pihak Jepang, setelah kolonial angkat kaki dari Tanjungpinang.
Tidak hanya memiliki nilai historis militer, Pulau Bayan juga memainkan peran penting dalam pengawasan jalur perdagangan menuju Bandar Riau di Tanjungpinang.
"Posisinya berada di tengah lintasan kapal dagang. Menjadikannya titik pengawasan strategis aktivitas ekonomi kerajaan tempo dulu," sebut Dedi.
Menjadi Destinasi Wisata Ekslusif
Seiring berjalannya waktu, wajah Pulau Bayan kembali berubah. Tahun 1980-an, di atas pulau seluas ±163.494 meter persegi ini berdiri sebuah hotel bernama Marina Club.
Bangunan dari material kayu berkualitas dari Kalimantan itu, sempat menjadi destinasi favorit wisatawan mancanegara, terutama dari Eropa dan Singapura.
Perubahan zaman membuat pulau legendaris ini berubah fungsi dan bergeser dari kawasan historis menjadi destinasi wisata yang eksklusif.
Namun kejayaan sebagai hotel mewah, tidak bertahan lama. Menurut cerita masyarakat setempat, pada dekade 1990-an, sempat terjadi insiden kecelakaan.
Baca Juga: Pertempuran Heroik Raja Haji Fisabilillah, Simbol Hari Jadi Kota Tanjungpinang
Peristiwa kelam menimpa seorang turis asing di kolam renang hotel. Sejak saat itu, kunjungan wisatawan perlahan menurun hingga akhirnya berhenti sama sekali.
Beberapa tahun berlalu, pulau legendaris ini sempat dihuni oleh sebuah keluarga nelayan asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka menjaga dan menetap sementara.
Kemudian Pulau Bayan kembali sunyi, hanya sesekali disinggahi nelayan dan para pelaut sebagai tempat singgah beristirahat atau berlindung.
Seiring waktu, Hotel Marina Club pun terbengkalai, kemudian diruntuhkan. Kini hanya ditumbuhi oleh pohon dan menyisakan kenangan tanpa jejak bangunan fisik.
Tetap Eksis Namun Tanpa Jejak
Saat ini, Pulau Bayan tetap eksis namun tanpa jejak. Secara administratif, Pulau Bayan masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tanjungpinang Barat.
Sementara pulau-pulau historis lainnya seperti Pulau Penyengat masuk Kecamatan Tanjungpinang Kota. Pulau Dompak, Pulau Basing, Pulau Los, Pulau Sekatap masuk wilayah Kecamatan Bukit Bestari.
Baca Juga: Kota Tua Tanjunguban yang Melegenda, Masyhur sebagai Kota Pelabuhan
Tidak hanya memiliki nilai historis, Pulau Bayan punya peran penting dalam pengawasan jalur perdagangan menuju Bandar Riau di Tanjungpinang tempo dulu.
Hari ini, pulau legendaris itu tetap berdiri dalam diam, menyimpan historis panjang. Dari benteng pertahanan, kejayaan wisata, hingga jejak yang tidak lagi berbekas. (*)
Penulis: Yusnadi Nazar


