Kesan Kuliner Klasik di Kota Lama Tanjungpinang, Eksis Sejak 1975
![]() |
| Kesan kuliner klasik di Kota Lama Tanjungpinang, eksis sejak 1975. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar |
Kuliner Klasik Pembuka Pagi yang Tak Pernah Sepi
Di tengah menjamurnya sarapan kekinian, satu kuliner klasik berbahan lontong ketupat dan usus sapi, tetap setia menyapa pagi masyarakat Tanjungpinang.
Lontong usus sebagai kuliner klasik, telah menjadi pilihan utama masyarakat sejak puluhan tahun silam dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Kuliner klasik khas yang telah eksis sejak 1975 ini, bukan sekadar pengganjal perut di awal hari, melainkan bagian dari jejak rasa dan memori masyarakat.
Dari masa ke masa, dari generasi lama ke generasi baru, kuliner klasik ini tetap bertahan dengan cita rasa khas yang nyaris tidak berubah.
Kuliner klasik ini, pertama kali diperkenalkan oleh Almarhumah Nuraini. Bermula dari dapur rumah sederhana, ia membuat lontong usus.
Baca Juga: Jejak Rasa Kuliner Klasik Khas Kota Lama Tanjungpinang, Melegenda Sejak 1969
Setelah mengolah bahan-bahan, Nuraini menjajakan lontong usus buatannya di kawasan Pasar Baru Jalan Pelantar II Kota Lama Tanjungpinang.
Seiring waktu, kelezatan kuliner klasik ini dikenal luas hingga akhirnya berpindah ke sejumlah lokasi. Kini menetap di pertokoan Jalan Basuki Rahmat.
"Ibu kami mulai berjualan lontong usus sejak 1975 di Pasar Baru, lalu pindah ke Pasar Ikan," ujar Epi (50), anak almarhumah Nuraini yang kini meneruskan usaha tersebut.
Sejak meneruskan dan menjalankan usaha kuliner klasik itu, Epi bersyukur karena telah mendapatkan rezeki yang cukup dari berjualan lontong usus.
"Alhamdulillah, sekarang kami menetap jualan lontong usus di depan SMA Negeri 2 Tanjungpinang," ucapnya.
Cita Rasa Lezat dari Resep Turun-temurun
![]() |
| Kuliner klasik lontong usus di Jalan Basuki Rahmat Tanjungpinang. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar |
Lontong kemudian dicampur dengan gulai kacang panjang dan buncis dan dilengkapi usus sapi berisi telur yang empuk dengan bumbu rempah.
Sebagai pelengkap, kerupuk khas warna merah atau jingga, turut disajikan guna menambah tekstur dan kenikmatan saat menyantap lontong usus.
Aroma kuah santan yang gurih berpadu dengan wangi rempah menciptakan sensasi menggoda, membuat siapa pun sulit menolak kelezatannya.
Baca Juga: Minuman Tempo Dulu Khas Tanjungpinang, Tetap Eksis hingga Kini
Meskipun tampilannya terbilang sederhana, kuliner klasik dengan resep turun-temurun ini, menyimpan kekayaan rasa yang membekas di lidah.
Selain lontong usus, kedai epi juga menyediakan pilihan lain seperti lontong rendang, lontong ayam gulai kampung, lontong tunjang, hingga lontong telur.
"Semua masih memakai resep lama ibu kami. Bumbu digiling sendiri, usus direbus lama supaya empuk. Santan dari kelapa parut dan bukan santan instan," jelasnya.
Epi mengenang bagaimana sejak kecil menyaksikan sang ibu memulai aktivitas memasak dan mengolah lontong usus sejak selepas salat subuh.
Tradisi itu pula yang kini ia lanjutkan bersama suaminya Rizal, demi menjaga kualitas rasa yang telah dipercaya pelanggan selama puluhan tahun.
Baca Juga: Memori Destinasi Kuliner Legendaris di Kota Klasik Tanjungpinang
Harga lontong yang ditawarkan pun beragam dan ramah di kantong. Mulai dari harga Rp13 ribu hingga Rp20 ribu per porsi, tergantung pilihan rasa.
"Pelanggan bisa memilih sesuai selera, mau pakai nasi, mau lontong usus, rendang, ayam gulai atau telur," tambahnya.
Hingga kini, lontong usus tidak pernah kehilangan peminat, terutama pada pagi hari. Pelanggan datang dari berbagai penjuru kota.
Bahkan, kata Epi, ada sejumlah pelanggan dari Bintan dan Batam yang membeli lontong usus buatannya, sebagai buah tangan.
"Banyak yang sudah makan di sini sejak kecil, sekarang mereka membawa anak dan cucu mereka. Alhamdulillah," ucap Epi bersyukur.
Cerita Pelanggan Setia Lontong Usus
Salah seorang pelanggan setia di Tanjungpinang, Inas (47), mengaku lontong usus telah menjadi bagian dari kenangan masa kecilnya.
"Dahulu waktu masih kecil dan tinggal di Jalan Kemboja, kami sering sarapan lontong usus bersama bapak," kenang Inas.
"Sekarang ini gantian, kami yang ajak anak-anak kami makan lontong usus. Rasanya tetap sama," sambungnya.
Menurut Inas, di tengah maraknya pilihan sarapan instan, lontong usus tetap menjadi favorit karena rasa autentik dan kenangan yang tersimpan di dalamnya.
"Sekarang warungnya dekat rumah kami. Kalau akhir pekan, kami selalu sempatkan sarapan lontong usus," ujar warga Jalan Pramuka tersebut.
Baca Juga: Mengenal Profesi Klasik, Sang Penyelamat Wajah Pesisir Tepi Laut Tanjungpinang
Menyantap lontong usus bukan hanya soal rasa, melainkan juga menghargai warisan kuliner yang telah menemani perjalanan kota ini, selama puluhan tahun.
"Kami mengajarkan anak-anak untuk menghargai makanan dan tradisi, sesuai ajaran agama kami," tutup Inas.
Lebih dari sekadar hidangan pagi, lontong usus tetap menjadi simbol keteguhan usaha lokal yang mampu bertahan hampir lima dekade.
Usaha kuliner klasik ini tetap bertahan tanpa bergantung pada konsep kuliner modern. Tetap eksis sebagai saksi perjalanan ekonomi Tanjungpinang dari masa ke masa. (*)
Penulis: Yusnadi Nazar


