Melihat Tradisi Klasik di Tanjungpinang, Berperan Menjaga Lingkungan dan Lautan
![]() |
| Tradisi klasik di tepi laut Tanjungpinang, 2010 silam. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar |
Tradisi Klasik, Kearifan Lokal dan Warisan yang Tetap Terpelihara
Sebagai ibu kota Provinsi Kepri, Kota Tanjungpinang memiliki kearifan lokal dan tradisi klasik dan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Di antara sekian banyak warisan dan kearifan lokal di Tanjungpinang, terdapat satu tradisi klasik yang masih bertahan hingga kini yakni bekarang.
Tradisi klasik ini merupakan aktivitas masyarakat pesisir dalam memanfaatkan hasil laut yang dilakukan secara beramai-ramai saat air laut surut.
Bekarang sebagai tradisi klasik, lazim dijumpai di perairan dangkal, di mana masyarakat mengumpulkan biota laut seperti kerang, siput, udang dan kepiting.
Sejak tempo dulu, bekarang telah menjadi kearifan lokal dan menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat pesisir di Tanjungpinang dan Pulau Bintan.
Tradisi klasik turun ke laut ini, melibatkan seluruh lapisan usia, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan peralatan sederhana seperti cangkul kecil, ember, dan jaring, mereka menyusuri tepian laut dangkal untuk mencari tangkapan berupa kekayaan laut.
Baca Juga: Rimba Legendaris di Tengah Kota Tanjungpinang, Ruang Terbuka Hijau dan Pelindung Ekosistem Alam
Tidak sekadar menopang kebutuhan pangan, bekarang juga menjadi ruang interaksi sosial. Mempererat kebersamaan dan ikatan silaturahmi di tengah masyarakat pesisir.
Lebih dari itu, warisan dan tradisi klasik ini, turut berkontribusi dalam menjaga keseimbangan alam dan kelestarian ekosistem laut.
Tradisi klasik yang dijalankan secara alami dan penuh kesadaran ini, tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada keberlanjutan.
Masyarakat pesisir memahami batas-batas dalam mengambil hasil kekayaan laut agar populasi tetap terjaga dan tidak mengalami eksploitasi berlebihan.
Salah seorang warga pesisir Tanjungpinang, Zupri (35), mengungkapkan bahwa aktivitas bekarang tidak membutuhkan peralatan yang rumit.
Biasanya, warga hanya mengandalkan tangan dan jaring serta wadah atau tempat seperti ember untuk menampung hasil tangkapan laut.
Untuk keselamatan, kata Zupri, warga pesisir juga menggunakan alas kaki yang dibuat khusus guna menghindari karang tajam dan hewan beracun seperti bulu babi.
Baca Juga: Pulau Klasik di Tanjungpinang yang Gemilang, Warisan Melayu Tempo Dulu
Menurut Zupri, lokasi yang kerap dimanfaatkan warga pesisir untuk bekarang, berada di kawasan laut dangkal hingga agak ke tengah, saat air laut surut.
"Biasanya kami turun ke laut di depan Taman Tugu Pensil atau di Tanjung Siambang Dompak, kalau air sedang surut," ungkapnya.
Hasil tangkapan bekarang, umumnya dimanfaatkan untuk konsumsi keluarga. Meskipun demikian, ada pula sebagian warga yang menjualnya untuk menambah penghasilan.
"Kalau kami lebih sering dimasak sendiri. Tapi memang ada juga yang menjual hasil dari bekarang," tambah warga Sei Jang Tanjungpinang tersebut.
Lebih jauh, Zupri menilai, sebagai warisan dan kearifan lokal, bekarang juga memiliki nilai edukatif bagi generasi muda di kawasan pesisir Tanjungpinang.
Anak-anak diajak untuk mengenal laut, memahami cara mengambil hasil laut secara bijak. Menumbuhkan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap alam.
"Saat hari libur dan air surut, kami ajak anak-anak ke pesisir sambil bekarang cari kerang atau gonggong," katanya.
Bekarang, Warisan Budaya Tempo Dulu
Peneliti Sejarah BRIN Dedi Arman, menyebut bahwa bekarang lazim dilakukan untuk menangkap ikan, siput gonggong, siput hisap, udang hingga rajungan.
Bekarang, jelas Dedi, dilakukan secara bersama-sama oleh warga pesisir di Kota Tanjungpinang dan warga pesisir di Kabupaten Bintan.
Dedi menegaskan bahwa bekarang merupakan warisan budaya yang telah berlangsung sejak tempo dulu dan sarat nilai kearifan lokal.
Tradisi klasik ini memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut serta perlu terus dilestarikan di tengah laju modernisasi.
Menurutnya, praktik bekarang yang dilakukan secara tradisional, tidak bersifat merusak. Bahkan aktivitas ini dapat menjaga keseimbangan ekosistem laut.
Warga pesisir memiliki pemahaman tersendiri dalam memilah hasil laut. Mana yang layak diambil dan mana yang harus dibiarkan agar tetap berkembang biak.
Tidak jarang pula, saat menjalankan aktivitas bekarang, warga pesisir turut mengumpulkan sampah plastik dan limbah lain yang terbawa arus.
Baca Juga: Jejak Rasa Kuliner Klasik Khas Kota Lama Tanjungpinang, Melegenda Sejak 1969
Secara tidak langsung, lanjut Dedi, aktivitas bekarang ini sekaligus menjadi bentuk kepedulian warga terhadap kebersihan laut dan pantai.
"Bekarang bukan semata soal mencari hasil laut, tetapi juga mencerminkan identitas warga pesisir yang hidup berdampingan dengan laut," jelasnya.
Dedi menambahkan, perubahan pola hidup dan berkembangnya aktivitas industri menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan tradisi klasik ini.
Oleh karena itu, tegas Dedi, diperlukan upaya secara bersama-sama untuk menjaga dan merawatnya sebagai bagian dari warisan dan kearifan lokal di Pulau Bintan.
Tradisi bekarang di Pulau Bintan, menjadi bukti nyata bagaimana kearifan lokal mampu berjalan seiring dengan upaya pelestarian alam.
Dengan menjaga keberlanjutannya, warga pesisir tidak hanya merawat warisan, tetapi memastikan kelestarian laut untuk dinikmati generasi muda yang akan datang.
"Tradisi klasik ini perlu dipertahankan agar tidak hanya bernilai warisan, namun juga tetap relevan dalam menjaga kelestarian laut dan lingkungan," tutup Dedi. (*)
Penulis: Hal Maliq Hanifa

