Melacak Jejak Historis Foto Jurnalistik Indonesia

Melacak Jejak Historis Foto Jurnalistik Indonesia
Jejak historis foto jurnalistik Indonesia. Foto Soekarno berdoa saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Arsip Foto: Frans Mendur via id.wikipedia.org

Jejak Historis Foto Jurnalistik, Menjadi Saksi Visual Perjuangan Bangsa

Jejak historis foto jurnalistik di Indonesia tidak sekadar berbicara tentang foto, melainkan tentang kesaksian visual yang merekam perjuangan bangsa.

Dalam jejak historis dan banyak peristiwa penting, foto jurnalistik justru berbicara lebih lantang daripada rangkaian kata-kata dalam teks berita.

Perjalanan panjang foto jurnalistik di Indonesia dapat ditelusuri sejak masuknya fotografi ke Hindia Belanda pada awal dekade 1840-an. 

Masa itu, fotografi hadir bersamaan dengan kepentingan perdagangan dan administrasi kolonial. Kamera digunakan terutama sebagai alat dokumentasi. 


Kala itu, pemerintah kolonial juga menggunakan fotografi sebagai alat propaganda dan bukan sebagai medium penyampaian berita. 

Tokoh penting dalam fase awal perkembangan fotografi di Indonesia adalah Kassian Cephas, fotografer pribumi yang aktif pada abad ke-19. 

Meskipun karya-karyanya belum sepenuhnya masuk kategori foto jurnalistik, namun perannya menjadi fondasi penting dalam jejak historis. 

Momentum paling menentukan dalam historis foto jurnalistik Indonesia terjadi pada tahun 1945, bertepatan dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.


Pada periode inilah muncul dua nama yang kemudian dikenal sebagai pionir forografer jurnalistik Indonesia, Alex Mendur dan Frans Mendur.

Mendur bersaudara ini awalnya bekerja di kantor berita Domei dan berhasil mengabadikan detik-detik seputar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. 

Foto-foto historis tersebut kelak menjadi arsip visual yang tidak ternilai dan dikelola melalui agensi IPPHOS (Indonesian Press Photo Service).

Di tengah tekanan Jepang, termasuk perampasan kamera, foto Mendur bersaudara, bertahan sebagai bukti visual autentik lahirnya Indonesia merdeka.

Foto Jurnalistik Pasca Kemerdekaan

Pada 2 Oktober 1946, Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) secara resmi berdiri sebagai organisasi foto jurnalistik pertama di Indonesia. 

Pembentukannya diprakarsai oleh para fotografer jurnalistik, termasuk Mendur bersaudara bersama rekan-rekan seprofesinya. 

Masa itu, IPPHOS punya peran vital dalam dokumentasi berbagai peristiwa penting, mulai masa revolusi, dinamika politik dan kehidupan sosial masyarakat. 


Karya-karya foto yang dihasilkan tidak sekadar menjadi dokumentasi visual, melainkan bagian dari memori bangsa yang direkam secara jujur dan apa adanya.

Perkembangan media massa nasional pada era Orde Baru (1966–1998) membawa perubahan signifikan dalam praktik foto jurnalistik. 

Fotografer jurnalistik atau pewarta foto dituntut berada di garis depan peliputan konflik demonstrasi, hingga peristiwa sosial yang sarat risiko.

Dalam konteks penguatan profesi, Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) didirikan pada tahun 1992. Kehadiran galeri ini menjadi ruang edukasi.


Selain itu, GFJA juga menjadi ruang apresiasi, pendidikan dan pengembangan generasi fotografer jurnalistik atau pewarta foto muda di Indonesia.

Selanjutnya, 18 Desember 1998, Pewarta Foto Indonesia (PFI) didirikan sebagai wadah untuk memperjuangkan hak, martabat dan standar etik pewarta foto.

Keberadaan PFI ini menegaskan posisi penting pewarta foto yang selama ini kerap dipandang sebagai pelengkap dari kerja jurnalistik.

Era Digital dan Tantangan Masa Depan

Memasuki era digital dan media sosial, foto jurnalistik berada di persimpangan antara nilai-nilai klasik jurnalistik dan tuntutan instan. 

Perubahan alat dan distribusi digital memang tidak terelakkan, namun esensi foto jurnalistik tetap berpijak pada prinsip kebenaran, akurasi dan integritas.


Foto jurnalistik di Indonesia, pada akhirnya, bukan sekadar produk visual, melainkan catatan historis yang tidak tergantikan. 

Dari jejak historis kamera Mendur bersaudara hingga kamera digital pewarta foto masa kini, foto jurnalistik terus menjadi saksi perjalanan bangsa. (*)

Penulis: Yusnadi Nazar
Posting Komentar