Perkakas Dapur Klasik, Warisan Tempo Dulu yang Bertahan di Tanjungpinang

Perkakas Dapur Klasik, Warisan Tempo Dulu yang Bertahan di Tanjungpinang
Perkakas dapur klasik, warisan tempo dulu yang bertahan di Tanjungpinang. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Melihat Produksi Perkakas Dapur Klasik dari Tangan Perajin Lokal

Di sudut-sudut dapur rumah lama di Tanjungpinang, suara uap mendesis dari perkakas dapur klasik, pernah menjadi irama keseharian. 

Perkakas dapur klasik khas tempo dulu itu, kini mungkin jarang terlihat, namun di Tanjungpinang, masih banyak masyarakat yang menggunakannya.

Meski peralatan dapur modern kian canggih dan praktis, perkakas dapur klasik bernama dandang itu, tetap dipilih karena ketangguhannya. 


Perkakas dapur klasik ini dikenal awet, tahan lama dan multifungsi. Digunakan untuk menanak nasi, mengukus makanan hingga merebus air. 

Bagi sebagian masyarakat, dandang tidak hanya sekadar alat dapur, melainkan bagian dari kenangan tempo dulu yang sulit tergantikan.

Selain itu, dandang yang terbuat dari bahan aluminium itu, masih dicari dan dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk berbagai keperluan memasak.

Dari Warisan Keluarga ke Dapur Masyarakat

Jejak nostalgia itu masih terawat melalui tangan-tangan perajin lokal. Salah satunya Alimin, seorang perajin dandang aluminium.

Alimin menetap di kawasan Perumahan Bukit Raya, arah Jalan Ganet Batu 11, Tanjungpinang dan memproduksi dangdang tradisional.

Dari rumah sederhananya, Alimin terus memproduksi dandang tradisional yang telah dirintis keluarganya, sejak sekitar tiga dekade silam.


Usaha ini bermula dari orang tuanya. Kini, di usia 53 tahun, Alimin tetap melanjutkan tradisi produksi perkakas dapur klasik tersebut. 

Alimin tetap bersyukur, meskipun zaman telah berubah semakin modern, kebutuhan akan dandang tradisional, belum sepenuhnya pudar.

“Masih ada masyarakat yang masih setia mencari dandang dan setia menggunakannya untuk memasak,” kata Alimin, beberapa waktu lalu.

Denting Martil dan Ketekunan Tempo Dulu

Perkakas Dapur Klasik, Warisan Tempo Dulu yang Bertahan di Tanjungpinang
Alimin tengah memproduksi dandang aluminium. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Proses produksi dandang masih dilakukan secara manual. Martil, kawat besi dan lembaran aluminium, menjadi alat dan bahan utama. 

Setiap potongan aluminium disesuaikan, dirakit, lalu dipukul atau diketuk secara halus dan perlahan hingga membentuk dandang atau loyang.


Pekerjaan ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Untuk satu unit dandang, Alimin biasanya memerlukan waktu hingga satu hari penuh.

Durasi produksi tergantung ukuran dan tingkat kerumitan. Cara tempo dulu ini mungkin terdengar kuno, namun justru di situlah nilai dan keistimewaannya.

Menyusuri Pasar hingga Negeri Seberang

Tidak hanya memenuhi kebutuhan dapur masyarakat Tanjungpinang dan Bintan, dandang buatan Alimin juga pernah menyeberang ke negeri jiran. 

"Kami pernah menerima pesanan dari Malaysia dan Singapura," ungkapnya. 

Selain dandang penanak nasi, Alimin juga memproduksi dandang bakso, pemanggang roti, ceret air, oven sederhana dan kompor minyak tanah.


"Ya semua itu mengingatkan pada suasana dapur tempo dulu," ujarnya. 

Harga jual dandang aluminium produksi tangan Alimin pun beragam. Harga mulai dari Rp100 ribu hingga Rp1,5 juta, menyesuaikan jenis dan ukuran.

"Harga standar sesuai tingkat kesulitan saat proses produksi," tambahnya. 

Menjaga Tradisi dan Warisan Keluarga

Perkakas Dapur Klasik, Warisan Tempo Dulu yang Bertahan di Tanjungpinang
Alimin memproduksi dandang pesanan masyarakat Tanjungpinang. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Saat Pandemi Covid-19 melanda Tanjungpinang, membuat pesanan dandang aluminium menurun. Namun Alimin tetap bertahan. 

Baginya, selama masih ada orang yang merindukan cita rasa dan suasana memasak tempo dulu, dandang tradisional akan terus dicari.


Di tengah laju modernisasi, denting martil di sudut rumah Alimin menjadi penanda bahwa alat masak tempo dulu itu, belum sepenuhnya hilang. 

Perkakas dapur klasik tersebut tetap masih hidup, menyala secara perlahan, dan menyimpan cerita dari generasi ke generasi. (*)

Penulis: Yusnadi Nazar
Posting Komentar