Jejak Visual Tidak Berujung Pionir Legendaris Foto Jurnalistik Indonesia
Pionir Legendaris Foto Jurnalistik Mendur Bersaudara, Saksi Proklamasi Kemerdekaan
Jauh sebelum kamera ponsel mendominasi ruang digital, pionir legendaris foto jurnalistik Indonesia telah mempertaruhkan nyawa demi satu bingkai kebenaran.
Pionir legendaris foto jurnalistik Indonesia itu adalah Mendur bersaudara, Alex Mendur dan Frans Mendur yang menjadi saksi perjalanan historis Indonesia.
Mendur bersaudara menempatkan fotografi bukan hanya sebagai alat dokumentasi, tetapi sebagai senjata historis dalam merekam lahirnya Indonesia merdeka.
Historis kemerdekaan Indonesia tidak hanya tercatat dalam teks dan pidato, tetapi juga terpatri kuat melalui sebuah gambar atau foto.
Baca Juga: Melacak Jejak Historis Foto Jurnalistik Indonesia
Di antara jejak visual paling penting perjalanan bangsa, nama Mendur bersaudara, menempati posisi istimewa sebagai pionir legendaris foto jurnalistik Indonesia.
Dua bersaudara asal Minahasa ini menjadi saksi mata sekaligus forografer jurnalistik atau pewarta foto yang berhasil merekam momen historis.
Satu visual monumental yang paling menentukan dalam perjalanan historis Indonesia yaitu pembacaan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Mengabadikan Detik Proklamasi
Kabar akan dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia segera sampai ke telinga Mendur bersaudara, Alex Mendur dan Frans Mendur.
Tanpa banyak pertimbangan, Mendur bersaudara bergegas menuju kediaman Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat.
Dengan perlengkapan sederhana, kamera Leica dan beberapa rol film negatif, Frans Mendur mantap menunaikan tugas sebagai fotografer jurnalistik.
Baca Juga: Historis Foto Jurnalistik, Jejak Visual Sejak Era Perang Dunia
Saat situasi genting dan pengawasan ketat oleh Jepang, Frans berhasil mengabadikan momen Bung Karno didampingi Bung Hatta, membacakan teks Proklamasi.
Foto-foto Frans inilah yang kemudian menjadi dokumen visual paling penting dan paling berharga dalam perjalanan historis Republik Indonesia.
Risiko, Penyitaan dan Keberanian
Perjuangan Mendur bersaudara tidak berhenti pada saat rana kamera ditekan. Usai peristiwa Proklamasi, pasukan Jepang memburu.
Kamera Alex Mendur saat itu disita Jepang, lengkap dengan rol film yang berisi dokumentasi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Namun, keberuntungan berpihak pada Frans Mendur. Ia berhasil lolos dari pemeriksaan dan menyelamatkan rol film berisi peristiwa historis itu.
Demi keamanan diri dan menyelamatkan visual berharga itu, Frans Mendur bahkan mengubur rol film di sebuah kebun yang tidak jauh dari tempatnya bekerja.
Dengan penuh kehati-hatian, Mendur bersaudara kemudian berhasil menyelinap masuk ke laboratorium foto kantor berita Domei.
Di kantor berita milik Jepang itulah, secara diam-diam, roll film dicuci dan foto-foto monumental Proklamasi, akhirnya berhasil dicetak.
Tiga foto ikonik hasil karya Frans Mendur kemudian dipublikasikan dan menyebar luas, serta menjadi bukti visual lahirnya Indonesia yang merdeka.
Jejak Karier Alex dan Frans Mendur
Alex Mendur, lahir di Kawangkoan, Minahasa, 7 November 1907, mulai menekuni fotografi sejak usia belia. Ia belajar dari fotografer Anton Najoan.
Alex meniti karier sebagai fotografer studio ternama di Batavia. Seiring berjalannya waktu, Alex kemudian dikenal sebagai pewarta foto.
Ia kemudian menjadi seorang fotografer jurnalistik di surat kabar Java Bode dan majalah Wereld Nieuws en Sport in Beeld sejak awal 1930-an.
Pada masa pendudukan Jepang, Alex dipercaya menjabat sebagai pewarta foto sekaligus Kepala Departemen Fotografi Kantor Berita Domei.
Setelah Indonesia merdeka dan Jepang angkat kaki dari Indonesia, Alex bersama adiknya Frans, bergabung dengan surat kabar Merdeka.
Baca Juga: Penyampai Kebenaran dan Profesi Klasik yang Tetap Bertahan di Zaman Modern
Satu karya Alex paling monumental adalah foto Bung Tomo saat berpidato membakar semangat rakyat dalam masa Revolusi di Jawa Timur tahun 1945.
Sementara itu, Frans Mendur yang lahir pada 16 April 1913 di Kawangkoan, belajar fotografi langsung dari sang kakak, Alex.
Frans mengawali karier sebagai fotografer jurnalistik atau pewarta foto di Java Bode, lalu bekerja di surat kabar Asia Raya menjelang Proklamasi.
Pasca kemerdekaan, Frans aktif di surat kabar Merdeka. Namanya abadi melalui foto-foto ikonik detik-detik Proklamasi yang kini menjadi rujukan.
Mendirikan Kantor Berita Foto Indonesia
Kesadaran akan pentingnya dokumentasi visual, mendorong Mendur bersaudara, Justus Umbas, Frans Umbas, Alex Mamusung dan Oscar Ganda, mendirikan kantor berita Indonesia.
Para fotografer jurnalistik legendaris Indonesia itu, kemudian bersama-sama mendirikan kantor berita Indonesia Press Photo Service (IPPHOS), 2 Oktober 1946.
Baca Juga: Melihat Jejak Kamera Tempo Dulu di Kota Klasik Tanjungpinang
Melalui IPPHOS, foto jurnalistik Indonesia berkembang pesat dan berperan besar dalam mendokumentasikan perjuangan bangsa selama masa revolusi.
Arsip foto-foto karya para fotografer jurnalistik di IPPHOS hingga kini menjadi rujukan visual penting dalam historiografi Indonesia.
Penghargaan dan Warisan Historis
![]() |
| Foto jurnalistik monumental saat Bung Tomo berpidato di Jawa Timur tahun 1945. Arsip Foto: Alex Mendur via id.wikipedia.org |
Atas jasa dan dedikasinya, Alex Mendur dan Frans Mendur dianugerahi Bintang Jasa Utama pada 9 November 2009 dari Negara.
Setahun kemudian, pada 12 November 2010, Alex Mendur dan Frans Mendur, menerima dan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera Nararya dari Negara.
Sebagai bentuk penghormatan, pada 11 Februari 2013 silam, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, meresmikan Tugu Pers Mendur Bersaudara.
Baca Juga: Sepak Terjang Panglima Perang Legendaris Tanjungpinang, Didaulat Jadi Pahlawan Indonesia
Tugu Pers itu dibangun di kampung halaman dan tempat lahir Alex Mendur dan Frans Mendur di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara.
Warisan Mendur bersaudara bukan sekadar foto, melainkan kesaksian visual tentang keberanian, integritas dan tanggung jawab jurnalistik.
Sebagai pionir legendaris foto jurnalistik, Mendur bersaudara meninggalkan jejak dan nilai-nilai yang tetap relevan, bagi pewarta foto Indonesia hingga hari ini. (*)
Penulis: Yusnadi Nazar


