Rekam Jejak Klasik Sinematografer Tanjungpinang di Panggung Sinema Universal

Rekam Jejak Klasik Sinematografer Tanjungpinang di Panggung Sinema Universal
Rekam jejak klasik sinematografer Tanjungpinang di panggung sinema universal. Arsip Foto © Widi Adeneza

Karya Film Sinematografer Tanjungpinang Raih Aplaus Internasional

Di balik sorot layar festival film internasional, terselip kisah perjalanan kreatif seorang Sinematografer muda Tanjungpinang. Namanya Widi Adeneza.

Lewat ketekunan, kepekaan visual dan keberanian mengangkat cerita lokal, ia berhasil melampaui batas hingga meraih pengakuan internasional.

Widi yang berprofesi sebagai sinematografer, mencatatkan prestasi membanggakan melalui film pendek yang dibuat di Tanjungpinang dan Bintan. 

Film berdurasi 15 menit tersebut sukses menyabet penghargaan Best Cinematography pada ajang Kinosuite International Film Festival 2024 di Jakarta.
Sementara rekan kerjanya, sutradara bernama Osama Almadani asal Aceh, juga meraih Best Director untuk karya film pendek yang sama.

Film yang mengangkat potret toleransi di Tanjungpinang dan Bintan itu juga terpilih sebagai Official Selection Madani International Film Festival 2024.

Pilihan tema film mengenai toleransi bukan tanpa alasan. Sebabnya Tanjungpinang dan Bintan ruang hidup yang damai. 

Pengakuan dan penghargaan itu, menegaskan kualitas artistik dan pesan moral dan pesan sosial yang kuat di mata juri internasional.

Mengangkat Cerita Lokal dengan Bahasa Visual

Widi mengungkapkan, pilihan tema toleransi bukan tanpa alasan. Ia menilai Tanjungpinang dan Bintan adalah ruang hidup yang saling membantu.

“Di sini, masyarakat hidup saling menghormati dan menolong meskipun berbeda keyakinan. Itu realitas yang jarang diangkat," ungkapnya. 

Melalui pendekatan visual yang membumi dan merepresentasikan identitas lokal, film "Gereja di Seberang Sana" berhasil mencuri perhatian. 
Lanskap, ritme kehidupan masyarakat, hingga simbol kedaerahan disusun dengan cermat untuk memperkuat pesan toleransi yang ingin disampaikan.

Bagi Widi, kamera bukan sekadar alat teknis. Lebih dari itu, ia adalah media untuk bersuara dan sebagai medium perjuangan. 

“Kamera adalah jendela dunia. Lewat kamera, cerita yang sering terpinggirkan bisa mendapatkan ruang,” ujar lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini. 

Dari Kota Kecil, Tumbuh Mimpi Besar

Perjalanan Widi di dunia film dan sebagai sinematografer, dimulai jauh sebelum ia menginjak bangku perguruan tinggi di IKJ Jakarta. 

Ketertarikan pemuda 24 tahun itu pada perfilman dan dunia visual, telah tumbuh sejak ia duduk di bangku SMA Negeri 1 Tanjungpinang. 

Melalui kegiatan ekstrakurikuler Pramuka di sekolah tersebut, Widi pertama kali bersentuhan dengan produksi film pendek.

Kala itu, kompetisi keterampilan Pramuka membuka kategori film pendek. Berbekal kamera pribadi, Widi bersama rekan memproduksi film berjudul Intropunitif.
Karya film pendek yang yang mengangkat tema bahaya narkoba itu, tidak disangka, berhasil meraih juara pertama, menyisihkan karya lainnya. 

“Dari situ kami ketagihan bercerita lewat gambar,” kenangnya.

Sejak saat itu, sejumlah film pendek lain lahir, di antaranya Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Reminisens dan Kontemplasi. 
Pengalaman dalam produksi film pendek tersebut, semakin menguatkan tekad dan semangatnya untuk menekuni dunia film secara serius.

Tahun 2019, menjadi titik balik ketika Widi memutuskan untuk melanjutkan studi sinematografi di Fakultas Film dan Televisi IKJ Jakarta.

Di kampus, ia memperdalam berbagai aspek perfilman, mulai dari komposisi, pencahayaan, framing, hingga bagaimana gambar membangun emosi dan makna.

“Sinematografi bukan hanya soal gambar indah, tapi bagaimana visual bisa menyampaikan rasa dan pesan,” sebutnya.

Kembali ke Tanjungpinang, Menyalakan Kreativitas

Rekam Jejak Klasik Sinematografer Tanjungpinang di Panggung Sinema Universal
Sinematografer muda Tanjungpinang saat proses produksi film pendek. Arsip Foto: © Widi Adeneza

Usai menimba ilmu dan pengalaman, Widi memilih kembali ke kampung halamannya. Kepulangannya bukan sekadar pulang.

Widi tetap membawa misi penting untuk berbagi pengalaman, menggerakkan dan menumbuhkan ekosistem perfilman di Tanjungpinang.

Ia kemudian menggagas program independen bertajuk Suka Sinema. Sebuah ruang pemutaran dan diskusi film alternatif yang menampilkan karya-karya festival.

Menampilkan karya film pendek dari dalam negeri maupun luar negeri serta film-film yang jarang tersentuh layar bioskop atau platform digital.
Melalui program ini, Widi mengajak sesama anak muda untuk mengenal dunia film secara lebih dekat dan belajar lebih dalam mengenai sinematografi. 

Selain itu, ia berbagi pengetahuan tentang teknik pengambilan gambar sederhana, riset cerita, hingga bagaimana memaksimalkan kamera.

“Potensi anak muda Tanjungpinang besar. Yang dibutuhkan hanyalah ruang, keberanian dan kepercayaan diri untuk berkarya,” ajaknya. 

Meskipun dunia film tidak lepas dari berbagai tantangan. Mulai dari keterbatasan dana hingga kurangnya dukungan, namun Widi tetap optimistis.
Baginya, selama ide cerita film pendek itu jujur dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh, maka karya film pendek akan menemukan jalannya.

Kota Tanjungpinang, bagi Widi, bukan sekadar kota kelahirannya, melainkan sumber inspirasi dan semangat yang tidak akan pernah habis. 

Widi berharap, ke depannya, dapat terus konsisten memproduksi karya-karya film pendek, setidaknya satu film pendek setiap tahun.

“Siapa pun bisa bersuara lewat film. Kamera bisa menjadi alat paling ampuh untuk bercerita,” tutup sinematografer muda Tanjungpinang ini. (*)

Penulis: Yusnadi Nazar
Posting Komentar