![]() |
Camilan legendaris yaitu kerupuk, menjadi simbol kesederhanaan dalam merayakan kemerdekaan Indonesia. Arsip Foto: Yusnadi Nazar |
Warisan Nilai Perjuangan yang Hidup di Tengah Masyarakat Tanjungpinang
Camilan legendaris kerupuk adalah makanan rakyat. Lomba makan kerupuk digelar pada bulan Agustus, bukan hanya untuk hiburan, Namun mengajarkan nilai perjuangan, kesabaran, kerja keras dan kebersamaan serta kesederhanaan.
Tawa pecah setiap kali lomba memperingati kemerdekaan Indonesia digelar di sudut-sudut kampung hingga lapangan terbuka. Dengan mulut terbuka lebar, dagu menengadah dan kerupuk yang diikat tali rafia, peserta lomba berusaha menjadi yang terbaik.
Setiap bulan Agustus, lomba makan kerupuk kembali mengikat kebersamaan. Dari anak-anak hingga orang dewasa, semua larut dalam tawa. Kerupuk yang sederhana itu pun menjelma menjadi simbol kemerdekaan Indonesia.
Lomba makan kerupuk, seolah menjadi ikon dan tradisi budaya yang tidak pernah absen dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia setiap tahunnya pada bulan Agustus.
Cara bermainnya nyaris tidak berubah dari masa ke masa. Kerupuk digantung menggunakan tali di sebuah tambang atau bambu. Posisinya diatur menggantung setinggi wajah peserta lomba.
Tanpa menggunakan tangan, peserta berlomba melahap kerupuk yang seringkali bergoyang ditiup angin atau ditarik-tarik panitia. Hal itu tentunya memancing gelak tawa dari siapa pun yang menyaksikannya.
Meskipun sederhana, lomba menggunakan camilan legendaris ini menyimpan sejarah dan makna. Tradisi ini mulai populer sejak 1950-an. Saat Indonesia masih berjuang bangkit dari keterbatasan usai lepas dari belenggu penjajahan.
Kerupuk adalah camilan legendaris. Makanan murah meriah yang akrab di lidah rakyat kecil. Dipilih sebagai simbol kesederhanaan hidup, juga pengingat akan masa sulit di mana rakyat harus berjuang untuk mendapatkan makanan pra kemerdekaan.
Selain itu, lebih dari sekadar perlombaan, lomba makan kerupuk yang memupuk kebersamaan dan kesederhanaan itu, telah menjadi warisan budaya kemerdekaan yang hidup di tengah masyarakat.
Tidak hanya menghadirkan keriangan saat mengikuti lomba makan kerupuk, tetapi ada pesan moral bahwa kemerdekaan yang dinikmati hari ini, lahir dari kesederhanaan, perjuangan dan persatuan rakyat.
Peneliti Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dedi Arman, menjelaskan lomba makan kerupuk adalah lomba yang berikatan erat dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
"Kerupuk itu makanan rakyat. Lomba makan kerupuk dibuat bukan hanya untuk hiburan, tapi juga mengajarkan nilai perjuangan, kesabaran, kerja keras, dan kebersamaan," katanya.
Menurut catatan Dedi Arman, perlombaan ini pertama digelar pada 1950-an. Tujuannya untuk mengingat bahwa rakyat Indonesia pernah berada di masa sulit yang ditandai dengan rakyat yang memakan kerupuk.
Meski menggunakan camilan legendaris, lomba ini merupakan hiburan di masa sekarang, namun hal ini juga sebagai simbol persatuan agar masa sulit zaman silam, tidak terulang lagi.
"Kerupuk juga makanan yang identik dengan rakyat dikarenakan harganya yang murah," jelas Dedi.
Suasana meriah dan gembira juga mewarnai peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia di berbagai daerah dan kampung. Termasuk di Kampung Kenanga Batu 2 Tanjungpinang.
Masyarakat Kampung Kenanga dengan kesederhanaan, turut menggelar lomba untuk anak-anak maupun orang dewasa. Selain lomba makan kerupuk, ada juga lomba khas lainnya seperti balap karung, tarik tambang, hingga panjat pinang.
Semua lomba tersebut kemudian berpadu menjadi perayaan yang penuh tawa gembira, keringat dan kebersamaan dan kesederhanaan dalam merayakan hari kemerdekaan Indonesia.
“Anak kami juga ikut. Seru sekali, apalagi lihat perjuangan anak-anak berebut dan menggigit kerupuk,” ujar Raja Rita, warga Kampung Kenanga.
Menurutnya, melalui lomba sederhana namun meriah ini, masyarakat Kampung Kenanga dan kampung-kampung lainnya di Tanjungpinang membuktikan bahwa kemerdekaan dirayakan bukan dengan kemewahan, melainkan dengan kesederhanaan dan kebersamaan.
“Intinya bukan soal menang atau kalah, tapi bagaimana kita semua bisa tertawa bersama dan merasakan semangat persatuan dalam memperingati kemerdekaan,” kata guru Sekolah Dasar (SD) di Tanjungpinang ini. (*)
Penulis: Hal Maliq Hanifa