![]() |
Kota Tua Tanjunguban yang melegenda, masyhur sebagai kota pelabuhan di Pulau Bintan, Kepri. Arsip Foto: Heru Sukma |
Menjadi Pangkalan Minyak Terbesar Tempo Dulu
Kota Tua Tanjunguban merupakan salah satu kota yang terletak di Pulau Bintan, Provinsi Kepri. Berjarak 90 kilometer dari Kota Lama Tanjungpinang, kota ini memiliki sejarah yang panjang dan kaya, terutama dalam konteks perkembangan ekonomi dan sosial di wilayah Kepri.
Hingga saat ini, Kota Tua Tanjunguban tetap memegang peran strategis dalam perekonomian di Kepri. Kota ini tidak hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan penting untuk distribusi barang dan bahan bakar minyak.
Namun Kota Tua Tanjunguban juga sebagai titik penghubung antara Pulau Bintan dengan pulau-pulau lain di Kepri hingga Singapura dan Malaysia tempo dulu.
Selain terkenal sebagai kota pelabuhan, kini Kota Tua Tanjunguban sebagai salah satu sektor pariwisata juga mulai berkembang. Terutama dengan adanya sejumlah destinasi wisata bahari di sekitar Tanjunguban yang menarik minat wisatawan lokal maupun internasional.
Sejarah panjang Kota Tua Tanjunguban mencerminkan transformasi dari sebuah perkampungan nelayan menjadi sebuah kota pelabuhan dan industri yang penting di Kepri khususnya di Pulau Bintan.
Kota Tua Tanjunguban mulai dikenal pada masa kolonial Belanda. Tempo dulu, kota ini merupakan sebuah perkampungan kecil yang dihuni oleh penduduk lokal yang umumnya bekerja sebagai nelayan dan petani.
Letaknya yang strategis, berdekatan dengan jalur pelayaran internasional di Selat Malaka, membuat Kota Tua Tanjunguban berkembang menjadi kota pelabuhan yang penting pada tempo dulu
Pada masa kolonial Belanda, Kota Tanjunguban menjadi salah satu titik persinggahan penting dalam jalur perdagangan yang menghubungkan Singapura dan kota lain di Sumatera serta Semenanjung Malaysia.
Hal inilah yang menjadikan Kota Tanjunguban sebagai pusat kegiatan ekonomi dan maritim yang cukup penting serta kota yang paling cepat berkembang di wilayah Kepri umumnya.
Selain itu, perkembangan Kota Tanjunguban juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari letak geografis yang strategis, kekayaan sumber daya alam, hingga perkembangan ekonomi yang terjadi dari masa ke masa.
Kini, Kota Tua Tanjunguban terus berkembang, dengan tetap mempertahankan warisan sejarah sebagai kota pelabuhan dan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari identitas kota tersebut.
Peneliti Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dedi Arman mencatat, Kabupaten Bintan dahulunya bernama Kabupaten Kepri. Pada tahun 2002, setelah terbentuk Provinsi Kepri, Kabupaten Kepri berubah nama menjadi Kabupaten Bintan.
Terdapat dua kota atau pusat keramaian di Kabupaten Bintan. Kota Kijang sebagai ibu kota Kecamatan Bintan Timur yang ramai karena tempo dulu terkenal sebagai pusat tambang bauksit.
Selanjutnya, terdapat satu kota tua yang melegenda sebagai kota pelabuhan dan sebagai pusat keramaian yakni Kota Tanjunguban ibu kota dari Kecamatan Bintan Utara.
Menurut Dedi, Tanjunguban menjadi pusat keramaian karena letaknya yang strategis. Kota ini berada di tepi laut yang dekat ke Kota Batam. Kemudian di Tanjunguban terdapat depo Pertamina dan terdapat kawasan industri di Lobam.
"Sebagai kota pelabuhan, kapal-kapal tanker, kapal barang maupun kapal TNI AL dan kapal lainnya sering labuh jangkar di perairan Tanjunguban," katanya.
Dalam catatan sejarah, Dedi menjelaskan perkembangan pesat Kota Tanjunguban tidak lepas dari pembangunan instalasi pangkalan minyak milik Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) yang kini diwariskan kepada Pertamina.
Dapat dikatakan, tonggak penting sejarah melegendanya Kota Tanjunguban bermula ketika NKPM mulai membangun pangkalan minyak yang menampung produksi kilang minyak Sungai Gerong di Sungai Musi, Palembang yang pembangunannya selesai sekitar tahun 1930.
Menurut catatan sejarah, pada 1948, masyarakat Tanjunguban dan semua pekerja di pangkalan minyak ini, pernah mencapai taraf kemakmuran yang cukup signifikan atau penting.
"Sejak saat itu, Kota Tanjunguban bergerak dari sebuah kampung nelayan menjadi kota dengan segala kelengkapannya yang terkait erat dengan pangkalan minyak itu," jelas Dedi.
Sejarah Nama Kota Tanjunguban
Menurut Dedi, penamaan Tanjunguban berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat. Penamaan ini berasal dari sebuah pohon yang sudah tua. Daun dan akarnya menjuntai ke bawah dan berwarna putih.
Pohon ini letaknya di samping makam Keramat Tanjunguban. Namun kini sudah tidak tersisa lagi dan pohon itu pun tidak sempat diberi nama oleh penduduk Tanjunguban tempo dulu.
Masyarakat yang melihat dari laut, pohon tersebut seperti uban. Karena daratan di Tanjunguban, menjorok ke laut sehingga disebut tanjung. Maka muncul lah nama Tanjunguban.
"Tentang Keramat Tanjunguban, diyakini adalah makam seorang ulama besar yang meninggal dalam perjalanan dari Semenanjung Malaka menuju Negeri Betawi di Sunda Kelapa," terang Dedi.
Pada masa Kesultanan Johor, Riau Lingga dan Pahang, Tanjunguban sudah ada. Pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Daeng Celak (1728-1745) telah diusahakan perkebunan gambir di Pulau Bintan (termasuk bagian darat Tanjunguban) yang dikerjakan oleh buruh-buruh Cina dan Melayu.
Sedangkan bagian pesisir Kota Tanjunguban yang menghadap ke Selat Riau, adalah suatu daerah rawa-rawa yang pada umumnya dihuni oleh nelayan Melayu Kepri.
"Jadi pada abad ke 18, Tanjunguban sudah ramai dihuni oleh masyarakat Melayu dan Cina," ungkap Dedi.
Kota Tanjugunban menjadi lebih ramai setelah Pemerintah Belanda membangun tempat pengisian dan penyimpanan minyak pada tahun 1930 yang dikelola oleh STANVAC (Standard Vacuum) Pertolium Compeny.
Para pekerja Stanvac adalah masyarakat Cina Canton yang didatangkan dari Singapura. Pada tahun 1932, Stanvac menerima pegawai anak Melayu dan pendatang dari luar daerah.
Tahun 1934, penduduk Cina mulai membuka warung-warung kopi dan toko-toko kelontong di Tanjunguban. Disamping itu, didirikan juga Sekolah Cina di sekitar Kampung Cenderawasih.
Kemudian tahun 1941, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Tanjunguban sebagai pusat tentara Belanda yakni KNIL (Koninkelijk Nederlands Indisch Leger), untuk wilayah Residen Riau. Maka dibangunlah perumahan tentara yang saat ini menjadi Komplek TNI-AL.
"Kota Tanjunguban juga dimanfaatkan oleh Belanda sebagai salah satu basis militer di Kepri," kata Dedi.
Selanjutnya pada tahun 1947, untuk membantu Angkatan Laut Belanda menjaga pantai dan penyelundupan, maka Departemen Van Sheepvaat membentuk satuan tugas yang diberi nama 'Zee en Kustbeweking Dienst' (Dinas Penjagaan Laut dan Pantai) yang berpangkalan di Tanjunguban.
"Tahun 1949, Jawatan Pelayaran Republik Indonesia membangun asrama, dermaga, proyek air minum jago yang sekarang menjadi Komplek KPLP atau Kesyahbandaran," tutup Dedi. (*)
Penulis: Hal Maliq Hanifa