Nelayan Klasik Tanjungpinang Menjaga Tradisi di Tengah Arus Perkembangan Zaman

Nelayan klasik mengunakan alat tangkap khas di tepi laut Tanjungpinang, 2010 silam. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar


Sondong di Ujung Senja yang Tidak Pernah Padam

Di tengah arus modernisasi zaman, riuh kota, geliat pariwisata dan perahu-perahu mesin yang silih berganti meramaikan pesisir Tanjungpinang, masih ada nelayan klasik yang memecah permukaan laut dengan menjaga tradisi dan warisan turun-temurun.

Di antara cahaya jingga keemasan yang memantul di tepi laut dan teluk, masih ada nelayan klasik yang menangkap ikan, udang, ketam dan gonggong, masih setia menggunakan alat tangkap khas yang telah diwariskan turun-temurun itu.

Di pesisir Tanjungpinang, saat mentari terbit pelan di atas permukaan laut atau saat senja jingga keemasan mulai merekah, sekelompok nelayan klasik tradisional, mengayunkan alat tangkap unik yang kini jarang terlihat di era modern.

Alat tangkap khas itu telah digunakan turun-temurun sejak puluhan tahun lalu. Meskipun ada jaring modern, kapal bermesin, hingga teknologi GPS, sebagian nelayan klasik tradisional Tanjungpinang, masih setia mempertahankan cara lama mencari rezeki.

Baca Juga: Nostalgia Destinasi Wisata Klasik di Tepi Laut Tanjungpinang

Nama alat tangkap khas itu adalah sondong. Ia bukan sekadar alat. Ia adalah warisan, bagian dari ingatan masa kecil, dan bentuk hubungan manusia dengan laut. Tidak hanya sekadar soal mencari rezeki, tetapi sondong juga soal rasa, kesabaran dan kebijaksanaan.

Berbeda dengan alat tangkap modern yang bisa dalam sekejap membawa pulang puluhan kilogram hasil laut, nelayan klasik ini tidak mengenal kata tergesa. Nelayan sondong memahami gerak ombak dan arah angin. 

Di sebagai kawasan pesisir Tanjungpinang seperti di Teluk Keriting, Tanjungunggat dan Dompak, pemandangan nelayan klasik tradisional menggunakan alat tangkap khas dan unik itu, masih bisa ditemui. 

Alat Tangkap Kekayaan Laut yang Khas dan Unik

Nelayan sondong menangkap udang di kawasan perairan ujung Jalan Pramuka Tanjungpinang, 2008 silam. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Cara penggunaannya cukup khas. Sebuah rangka kayu menyerupai bentuk segitiga yang dipasangi jaring atau jala halus, lalu diturunkan perlahan ke air dangkal. Biasanya digunakan saat air pasang mulai beranjak surut. 

Nelayan klasik tradisional kemudian dengan sabar menyusuri laut dangkal dan menunggu gerakan ikan masuk ke jaring sondong. Setelah itu melakukan gerakan memutar tongkat kayu untuk mengangkat jaring ke permukaan.

Tidak ada suara mesin. Tak ada suara bising. Yang ada hanya desir angin, percikan ombak kecil dan bunyi perahu kayu yang sesekali beradu dengan badan dermaga. Semua terasa pelan, tenang dan penuh perhitungan.

Baca Juga: Kisah Klasik Inspiratif Perempuan Tangguh Berusia 83 Tahun di Tanjungpinang

Ketika senja turun, matahari terbenam di ujung barat cakrawala, suara lantunan ayat suci mulai terdengar hingga suara azan menggema di rumah Allah, para nelayan klasik ini pun mulai kembali ke daratan. 

Hasil tangkapan hari itu yang bisa jadi hanya beberapa ekor ikan, udang, ketam, kerang atau gonggong. Tidak banyak, namun cukup. Para nelayan klasik itu pun mengucap syukur atas rezeki yang telah diberikan oleh Allah Sang Penguasa Alam. 

Meskipun di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan alat tangkap modern, nelayan sondong tetap berpegang pada prinsip menjaga keseimbangan. Tetap mencari rezeki dengan mengambil hasil kekayaan laut seperlunya. 

Lebih dari Sekadar Alat Tangkap dan Tetap Bertahan

Bertahan itu bukan suatu hal yang mudah. Perubahan zaman juga membawa suatu tantangan. Harga hasil kekayaan laut seringkali tidak stabil, biaya hidup naik dan anak-anak nelayan banyak yang memilih jalan lain.

Selain itu, keberadaan kapal besar dan bermesin canggih hingga alat jaring yang semakin modern, sering membuat hewan-hewan laut yang bernilai ekonomis di laut dangkal, kemungkinan mulai berkurang.

Namun bagi nelayan sondong, laut adalah sahabat lama yang mulai ditarik oleh tangan industri. Meskipun begitu, nelayan klasik tetap hadir dalam tradisi menangkap ikan di pesisir atau laut dangkal. 

Baca Juga: Mengenal Profesi Klasik, Sang Penyelamat Wajah Pesisir Tepi Laut Tanjungpinang

Di saat banyak yang mengejar hasil laut yang lebih cepat dan berlimpah, nelayan klasik tetap memilih berjalan dalam ritme yang lebih lambat dan pelan. Namun penuh makna dalam menjaga tradisi dan kearifan lokal turun-temurun tersebut.

Sondong adalah simbol identitas pesisir Tanjungpinang. Ia menyimpan cerita pendek tentang kesederhanaan yang mengajarkan bahwa laut bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang menjaga hubungan manusia dengan laut. 

Di kota Tanjungpinang yang terus tumbuh, nelayan sondong adalah pengingat bahwa tidak semua hal harus dikejar dengan cepat dan hidup bisa berjalan dalam ritme yang lebih lambat dan damai.

Sondong yang Mengajarkan Kesederhanaan

Dua nelayan sondong mencari rezeki di kawasan Teluk Keriting Tanjungpinang, 2012 silam. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Sondong bukan sekadar alat. Ia adalah kearifan lokal. Ia sebagai bentuk hubungan manusia dengan laut yang tak sekadar soal mencari rezeki, tetapi juga soal rasa, kesabaran, kebijaksanaan dan menjaga laut. 

Sondong mungkin alat tangkap klasik yang sederhana. Namun dalam kesederhanaannya, alat tangkap sondong menyimpan kekayaan yang mungkin tidak bisa digantikan oleh teknologi masa kini. 

Nelayan sondong bukan hanya sekadar pelakon tradisi. Mereka adalah penjaga laut. Nelayan klasik yang menangkap hasil laut secukupnya dan tidak merusak terumbu atau meracuni biota laut.

Baca Juga: Melihat Tradisi Klasik di Tanjungpinang, Berperan Menjaga Lingkungan dan Lautan

Sondong mungkin sederhana, tapi ia menyimpan cerita panjang tentang kesabaran, keteguhan, dan rasa hormat terhadap laut. Dan selama masih ada alat tangkap klasik itu di Tanjungpinang, maka tradisi itu belum mati.

Satu hal yang penting bahwa nelayan klasik tradisional ini mengajarkan bahwa laut bukan hanya sumber rezeki, tetapi juga ruang amanah yang harus dijaga agar tetap memberi kehidupan bagi generasi berikutnya. (*) 

Penulis: Hal Maliq Hanifa