Melihat Arsitektur Benteng Legendaris Pulau Historis di Tanjungpinang, Berfungsi Besar Mematikan Musuh

Melihat Arsitektur Benteng Legendaris Pulau Historis di Tanjungpinang, Berfungsi Besar Mematikan Musuh
Melihat arsitektur benteng legendaris pulau historis di Tanjungpinang, berfungsi besar mematikan musuh. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Jejak Arsitektur Benteng yang Dilengkapi 8 Meriam dan Parit Pertahanan Serangan Darat

Jejak arsitektur benteng legendaris, masih dapat dilihat melalui keberadaan Benteng Bukit Kursi di puncak Pulau Penyengat, Tanjungpinang.

Benteng Bukit Kursi ini menjadi bukti nyata bagaimana arsitektur benteng pada masa Kesultanan Riau Lingga, dirancang sebagai sistem pertahanan yang efektif.

Arsitektur benteng legendaris yang berada di Bukit Kursi ini, dirancang dan dibangun untuk menghadapi ancaman musuh dari laut maupun darat.

Benteng ini dibangun pada abad ke-18, seiring meningkatnya ketegangan politik dan militer antara Kesultanan Riau Lingga dan pihak kolonial.

Baca Juga: Riwayat Benteng Tangguh di Puncak Pulau Legendaris, Penjaga Bumi Tanjungpinang

Selain itu, wilayah perairan Tanjungpinang hingga selat Melaka yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional strategis, rawan terhadap serangan musuh. 

Kondisi tersebut mendorong Kesultanan Riau Lingga, memperkuat basis militer dan pertahanan di Pulau Penyengat yang menjadi pusat pemerintahan.

Dari sudut pandang arsitektur benteng, Bukit Kursi di puncak Pulau Penyengat, menempati posisi geografis yang penting dan sangat strategis. 

Benteng yang berada di dataran tinggi, memungkinkan pengawasan visual terhadap perairan sekitar Tanjungpinang dan jalur masuk ke Pulau Penyengat. 

Penempatan benteng di puncak Pulau Penyengat, memberi keuntungan taktis dan strategis karena setiap pergerakan kapal musuh, dapat terdeteksi lebih awal.

Baca Juga: Pulau Klasik di Tanjungpinang yang Gemilang, Warisan Melayu Tempo Dulu

Benteng Bukit Kursi tercatat dilengkapi sistem persenjataan. Terdapat delapan unit meriam yang diarahkan ke berbagai sudut, terutama ke arah laut.

Keberadaan persenjataan berat seperti meriam-meriam tersebut, menunjukkan bahwa fungsi utama benteng itu adalah pertahanan maritim.

Dalam konteks militer, susunan meriam yang menyebar memungkinkan tembakan bersilang, sehingga mempersempit ruang gerak musuh yang mencoba mendekat.

Selain itu, benteng ini juga dilengkapi parit pertahanan. Parit tersebut berfungsi sebagai penghambat serangan darat musuh yang mencoba mendekati pusat pertahanan. 

Antisipasi Serangan Jarak Jauh dan jarak Dekat

Struktur parit pertahanan yang dibangun ini, memperlihatkan bahwa arsitektur benteng Bukit Kursi Pulau Penyengat, dirancang secara menyeluruh.

Dengan begitu, arsitektur benteng dibangun tidak hanya fokus pada serangan jarak jauh, tetapi juga antisipasi pertempuran dari jarak dekat.

Material bangunan benteng memanfaatkan batu bauksit dan campuran tanah, teknik konstruksi yang mungkin digunakan pada masa itu.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Kapal Perang Legendaris di Kota Klasik Tanjungpinang

Menegaskan bahwa benteng itu dibangun untuk menahan gempuran musuh, sekaligus menyatu dengan kontur bukit sebagai pertahanan alami.

Perpaduan antara alam dan struktur buatan itu, kemungkinan menjadi ciri khas arsitektur pertahanan tradisional tempo dulu yang adaptif dan fungsional.

Dalam catatan historis, Benteng Bukit Kursi merupakan bagian dari jaringan benteng yang ada di Tanjungpinang dan berfungsi saling mendukung. 

Keberadaan Benteng Bukit Kursi memperkuat peran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan dan simbol kedaulatan Kesultanan Riau Lingga.

Baca Juga: Sepak Terjang Panglima Perang Legendaris Tanjungpinang, Didaulat Jadi Pahlawan Indonesia

Kini, Benteng Bukit Kursi tidak lagi berfungsi sebagai pertahanan militer. Namun, nilai historis dan arsitekturnya tetap penting sebagai warisan budaya.

Benteng ini menjadi pengingat bahwa Pulau Klasik di Tanjungpinang pernah dijaga dengan sistem pertahanan yang matang. 

Bisa dibilang, arsitektur benteng yang dirancang dan dibangun itu, untuk melindungi wilayah dan “mematikan” ancaman musuh pada masa lalu. 

Cerminan Kewaspadaan dari Ancaman Musuh

Berdasarkan catatan deskripsi arkeologis, Benteng Bukit Kursi memiliki denah segi empat. Luas sekitar 92,38 m x 74,73 m (6903,55 meter persegi).

Benteng ini dibangun dari susunan batu bauksit yang direkatkan dengan teknik tradisional, tanpa kemewahan ornamen, namun kokoh dalam fungsi. 

Pintu utama Benteng Bukit Kursi Pulau Penyengat ini berada di sisi selatan dengan sebuah jembatan sebagai akses masuk ke dalam benteng.

Baca Juga: Hikayat Bukit Legendaris di Tanjungpinang, Benteng Alam Tempo Dulu

Area benteng yang sangat luas ini bisa menempatkan pasukan militer dalam jumlah cukup besar dan dikeliling parit sedalam lebih kurang tiga meter. 

Parit pertahanan di atas bukit tersebut, mengelilingi bagian luar benteng untuk memperkuat sistem perlindungan dari serangan darat musuh.

Di beberapa sudut benteng, meriam-meriam besi ditempatkan menghadap laut. Meriam-meriam inilah yang dahulu menjadi “suara” perlawanan.

Dari delapan meriam di benteng ini, enam meriam mengarah ke laut. Hal ini menunjukkan bahwa potensi ancaman terbesar datang dari arah laut.

Baca Juga: Jejak Historis Tempo Dulu di Pulau Biram Dewa Kota Klasik Tanjungpinang

Banyaknya meriam yang ditempatkan ini, menjadi kekuatan terpenting bagi benteng dalam menjalankan fungsinya sebagai medan tempur dan pertahanan.

Saat ini, dentumannya mungkin telah hilang, tetapi kehadirannya masih menyisakan wibawa, seolah mengingatkan bahwa bukit ini adalah medan perjuangan.

Di sisi lain, benteng ini dibangun untuk bertahan. Benteng ini mencerminkan kewaspadaan akan ancaman musuh dan tekad untuk menjaga kedaulatan.

Raja Haji Fisabilillah dan Api Perlawanan

Nama Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Riau Lingga, Raja Haji Fisabilillah tidak dapat dipisahkan dari riwayat Benteng Bukit Kursi ini. 

Di bawah kepemimpinannya, Pulau Penyengat berkembang bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai benteng ideologi dan militer.

Perlawanan terhadap kolonial mencapai puncaknya dalam Perang Riau di perairan Tanjungpinang-Pulau Penyengat pada 6 Januari 1784. 

Baca Juga: Jejak Pulau Legendaris di Tanjungpinang dalam Lintasan Waktu

Benteng Bukit Kursi bersama Benteng Tanjungpinang, Benteng Pulau Bayam dan Benteng Kota Piring, menjadi saksi masa-masa kegemilangan itu. 

Dari benteng-benteng tangguh inilah pengawasan dilakukan, strategi disusun dan perlawanan dipersiapkan untuk menang melawan kolonial. 

Benteng-benteng ini punya satu fase penting dalam historis. Fase ketika kerajaan Riau Lingga berusaha mempertahankan kedaulatan di tengah gempuran kolonial. 

Dari Medan Tempur ke Situs Historis 

Hari ini, Benteng Bukit Kursi tidak lagi menjadi pertahanan militer. Ia telah beralih fungsi menjadi situs historis dan cagar budaya. 

Lumut yang mungkin tumbuh di sela-sela batu, tanah menimbun parit serta sunyi di Bukit Kursi, justru mempertegas jarak antara tempo dulu dan masa kini.

Namun bagi siapa saja yang datang berkunjung ke Pulau Penyengat, Benteng Bukit Kursi adalah ruang ingatan historis tempo dulu.

Baca Juga: Sejarah Pulau Basing Tanjungpinang, Tempat Inap Klasik Raja Tempo Dulu

Setiap langkah di atas tanahnya seperti menginjak lapisan waktu, membawa imajinasi pada suara meriam saat perang dan pandangan waspada ke arah laut.

Benteng Bukit Kursi juga mengajarkan bahwa historis tidak selalu ditulis dengan tinta di atas kertas. Ada historis yang ditulis dengan keberanian. 

Ada pula historis yang disimpan oleh alam seperti historis Benteng Bukit Kursi yang menunggu untuk dibaca kembali oleh generasi penerus. 

Penjaga Diam dan Berani di Puncak Pulau Historis

Melihat Arsitektur Benteng Legendaris Pulau Historis di Tanjungpinang, Berfungsi Besar Mematikan Musuh
Benteng Bukit Kursi di Puncak Pulau Penyengat. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Pulau Penyengat dikenal sebagai pusat intelektual dan spiritual. Tempat lahirnya karya sastra dan tata bahasa Melayu yang menjadi dasar Bahasa Indonesia. 

Di antara keelokan itu, Benteng Bukit Kursi menjadi penyeimbang. Menandakan peradaban tidak hanya dibangun dengan kata-kata. Tetapi juga dengan keberanian.

Baca Juga: Pertempuran Heroik Raja Haji Fisabilillah, Simbol Hari Jadi Kota Tanjungpinang

Benteng tangguh ini mungkin tidak lagi bersuara, tetapi diamnya penuh makna. Ia mengingatkan bahwa Pulau Penyengat adalah pusat keberanian dan peradaban.

Kini, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Tanjungpinang Nomor 229 Tahun 2017, arsitektur Benteng Bukit Kursi masuk dalam kategori Struktur Cagar Budaya. (*)

Penulis: Hal Maliq Hanifa

Posting Komentar