Mengungkap Jejak Rasa Kuliner Tradisional Tanjungpinang Tempo Dulu

Mengungkap Jejak Rasa Kuliner Tradisional Tanjungpinang Tempo Dulu
Mengungkap jejak rasa kuliner tradisional Tanjungpinang tempo dulu. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Menikmati Lezatnya Kuliner Tradisional nan Legendaris dari Tanjungpinang

Kuliner tradisional merupakan warisan dari masa silam yang pernah mengharumkan meja tuan rumah, mengikat adab, rasa dan kenangan dalam tradisi. 

Kota Lama Tanjungpinang, dikenal tidak hanya akan historisnya sebagai pusat budaya Melayu, tetapi juga mempunyai kekayaan kuliner tradisional. 

Sebagai ibu kota Kepulauan Riau, aneka kuliner tradisional warisan tempo dulu masih mewarnai kehidupan masyarakat setempat masa kini. 


Salah satu kuliner tradisional nan legendaris itu adalah kudapan atau camilan yang sarat cerita dan tradisi yang bernama kue Batang Buruk.

Suatu camilan yang meskipun namanya terdengar unik, ternyata menyimpan historis panjang dan nilai budaya yang mengakar kuat.

Satu kudapan legendaris bercita rasa lezat di antara aneka kuliner tradisional Tanjungpinang tempo dulu yang saat ini masih bisa dinikmati.

Asal-Usul dan Historis Batang Buruk

Kuliner tradisional ini bukan sekadar kudapan biasa. Menurut catatan warisan kuliner Melayu, kudapan ini telah dikenal sejak lama oleh masyarakat Pulau Bintan.

Kue Batang Buruk sendiri telah terkenal sejak berabad-abad lalu dan diperkirakan telah dikenal masyarakat lebih dari 450 tahun silam. 

Namanya yang unik memang mengundang tanya, namun di balik itu tersimpan cerita tentang asal usulnya yang sarat dengan filosofi Melayu.

Ada pula kisah legenda yang melatarbelakangi nama tersebut. Konon, istilah “Batang Buruk" muncul dari suatu peristiwa di masa Kerajaan Bentan, masa silam. 


Saat seorang putri bangsawan menciptakan kue ini sambil menyampaikan filosofi dan makna etika dan sopan santun kepada bangsawan.

Filosofi “biar pecah di mulut, jangan pecah di tangan” menggambarkan kesantunan dan tata krama yang tinggi ketika menikmati makanan.

Makna dan filosofi tersebut, merupakan nilai dan adab yang diajarkan turun-temurun di lingkungan kerajaan dan masyarakat tempo dulu.

Kue Batang buruk juga menjadi camilan khas orang Melayu. Biasanya kudapan ini dinikmati oleh raja-raja kerajaan Bentan hingga kerajaan di Hulu Riau.

Ciri Fisik dan Rasa Kue Batang Buruk

Ukuran kue Batang Buruk terbilang kecil dan berbentuk kotak atau persegi panjang. Biasanya hanya berukuran sekitar 3 atau 4 sentimeter. 

Kudapan klasik ini mempunyai tekstur yang kering namun renyah saat dinikmati. Mempunyai cita rasa manis yang khas dan gurih yang lembut di lidah. 

Bahan utama kue Batang Buruk ini berasal dari campuran tepung. Umumnya tepung gandum, tepung beras dan tepung kelapa. 

Bahan-bahan tepung tersebut kemudian dicampur dengan gula, susu dan kacang hijau goreng sebagai isian atau taburannya. 


Proses pembuatannya menggabungkan keahlian tangan dan ketelitian agar adonan, mencapai tekstur yang tepat dan cita rasa yang seimbang.

Keunikan rasa manis nan gurih inilah yang membuat kue Batang Buruk tetap dikenang dan dicari meskipun zaman telah berubah. 

Masyarakat Melayu di Kepulauan Riau menyukai kudapan ini tidak hanya sebagai camilan sehari-hari, tetapi juga sebagai bagian dari tradisi. 

Warisan Tempo Dulu dan Fungsi Budaya

Tempo dulu di Tanjungpinang, kue Batang Buruk sering disajikan saat hari-hari penting dan saat kunjungan silaturahmi ke rumah kerabat.

Tidak jarang, masyarakat Melayu menjadikannya sebagai bagian dari penyambutan tamu atau suguhan dalam acara keluarga.

Tradisi ini menunjukkan bagaimana camilan bukan hanya sekadar pemuas rasa, tetapi juga medium budaya untuk memperkuat ikatan sosial.


Seiring waktu, meskipun popularitasnya sedikit menurun akibat persaingan dengan kudapan modern, Batang Buruk tetap bertahan. 

Kue Batang Buruk kini menjadi salah satu oleh-oleh khas Tanjungpinang yang dicari wisatawan yang ingin mengenang kembali cita rasa tempo dulu. 

Keberadaan kue Batang Buruk menegaskan bahwa warisan kuliner tradisional tempo dulu tidak sekadar soal resep atau rasa.


Namun kuliner tradisional ini tetap menyimpan nilai historis, filosofi hidup dan bentuk identitas dari budaya Melayu Kepulauan Riau. 

Camilan sederhana ini menggambarkan bagaimana masyarakat Melayu tempo dulu memadukan estetika rasa dengan makna kehidupan.

Sehingga menjadikan kue Batang Buruk bagian yang sangat berharga dari kecintaan masyarakat terhadap tradisi lokal Tanjungpinang tempo dulu.

Menjadi Camilan Klasik Masa Kini

Kue Batang buruk adalah makanan khas orang melayu yang biasa dinikmati oleh raja-raja pada masa lalu di Kepulauan Riau terutama Pulau Bintan. 

Dimulai saat berdirinya kerajaan Bentan di Bintan hingga pembukaan Hulu Riau di Tanjungpinang, kue ini menjadi camilan khas istana kerajaan. 

Namun, dengan hadirnya Dapoer Melayu di jalan Sultan Mahmud Tanjungpinang, siapa saja bisa mendapatkan Batang buruk dan camilan tradisional lainnya. 

Pemilik Dapoer Melayu, Teja Alhabd mengatakan ia membuka usaha ini karena belum tersedianya oleh-oleh khas Tanjungpinang. 


Ia merasa gamang saat rekan-rekannya yang datang dari luar Tanjungpinang, menanyakan oleh-oleh khas Tanjungpinang. 

Oleh karena itu, pada Tahun 2009, ia didukung oleh Almarhum Efiyar M Amin yang saat itu Kepala Dinas Perindustrian Tanjungpinang, ia membuka usaha. 

Pembukaan Dapoer Melayu juga disambut baik oleh Walikota Tanjungpinang  Suryatati A Manan dan Wagub Kepri HM Sani saat itu.

"Batang buruk menjadi ikonnya, karena kue ini makanan orang melayu dan harus dilestarikan," ujar Teja yang juga seorang seniman. 


Batang buruk di Dapoer Melayu mempunyai cita rasa tersendiri dan dibuat menggunakan bahan-bahan tradisional.

Tidak hanya itu, proses pembuatan kue Batang Burung di Dapoer Melayu, dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. 

"Batang buruk di sini punya rasa yang berbeda karena menggunakan resep sendiri," jelas Teja.


Teja Alhabd menjelaskan, tersedia dua jenis kue Batang Buruk yakni Batang Buruk kering yang dikemas dalam plastik berbagai ukuran. 

Selain itu, ungkap Teja, ada juga kue Batang Buruk berjenis basah yang dapat dicicipi dengan menggunakan santan khas. 

"Tapi untuk batang buruk basah, kami masih mencari resep khusus untuk memproduksinya," sebutnya, beberapa waktu lalu. 

Kue Batang Buruk Berbagai Rasa

Mengungkap Jejak Rasa Kuliner Tradisional Tanjungpinang Tempo Dulu
Teja Alhabd, pemilik Dapoer Melayu Tanjungpinang. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Teja menambahkan, Batang Buruk kering mempunyai rasa original, rasa keju, rasa pandan dan rasa cokelat yang bisa bertahan hingga enam bulan.

"Semakin lama disimpan dalam pendingin, rasanya semakin gurih," ungkapnya. 

Selain kue batang buruk, Dapoer Melayu juga menyediakan kue khas melayu lainnya seperti bilis guling, bangkit sagu, kerupuk gonggong dan lainnya. 

"Kalau yang berminat mencoba dan mencicipi kue tradisional, datang saja ke Dapoer Melayu," ajaknya. 


Teja mengatakan oleh-oleh yang tersedia di Dapoer Melayu, harganya bervariasi, mulai dari harga Rp15ribu hingga Rp100ribu, tergantung kemasan.

Dapoer Melayu juga menerima pesanan berbagai jenis oleh-oleh dalam jumlah banyak. Untuk pemesanan, bisa langsung datang ke Dapoer Melayu atau via online. 

Teja juga gencar menginformasikan bahwa oleh-oleh khas Melayu yaitu Batang Buruk yang berusia 400 tahun ini, tersedia di Tanjungpinang.

"Kami berharap pemerintah juga menyebarkan informasi bahwa kuliner tradisional Batang Buruk masih eksis di Tanjungpinang," tutupnya. (*)

Penulis: Yusnadi Nazar
Posting Komentar