Pertempuran Heroik Raja Haji Fisabilillah, Simbol Hari Jadi Kota Tanjungpinang

Pertempuran Heroik Raja Haji Fisabilillah, Simbol Hari Jadi Kota Tanjungpinang
Pertempuran heroik Raja Haji Fisabilillah di perairan Pulau Penyengat-Tanjungpinang, jadi simbol Hari Jadi Kota Tanjungpinang. Arsip Foto: © Yusnadi Nazar

Pertempuran Heroik sebagai Tonggak Historis Hari Jadi Kota Tanjungpinang

Kota Tanjungpinang terkenal sebagai kota sarat nilai historis. Usianya kini menembus dua abad, merujuk pada pertempuran heroik Raja Haji Fisabilillah. 

Pada pertempuran heroik 6 Januari 1784, pasukan Kerajaan Riau Lingga di bawah komando Raja Haji Fisabilillah, berhasil memberi perlawanan terhadap musuh.  

Sebelum terjadi pertempuran heroik terjadi, situasi memanas. Pihak kolonial melanggar kesepakatan dengan Kerajaan Riau Lingga, terkait pembagian harta rampasan. 

Puncak pertempuran heroik itu terjadi saat kapal dagang Inggris bernama Betsy yang mengangkut 1.154 peti candu, dirampas oleh kolonial. 

Tidak hanya itu, ribuan peti candu rampasan tersebut lalu dibawa oleh pihak kolonial ke Batavia (Jakarta), tanpa seizin pihak kerajaan.

Tindakan itu membuat Raja Haji Fisabilillah berang. Tindakan curang itu sebagai bentuk penghinaan terhadap kedaulatan Kerajaan Riau Lingga. 

Baca Juga: Identitas Sejarah Kota Lama Tanjungpinang, Menjadi Simbol Perjuangan Rakyat Raih Kemerdekaan

Sang raja pun akhirnya memutuskan hubungan perjanjian dan mulai mempersiapkan kekuatan militer untuk menghadapi serangan pihak kolonial.

Sebagai Yang Dipertuan Muda, Raja Haji Fisabilillah kemudian mengonsolidasikan pasukan di Pulau Bayan yang berada di Hulu Riau Tanjungpinang. 

Konsolidasi itu juga untuk memperkuat posisi pertahanan di Tanjungpinang, Pulau Penyengat, Teluk Keriting, serta wilayah-wilayah strategis lainnya.

Perang besar pun akhirnya meletus di perairan Riau pada rentang 1782 hingga 1784. Pertempuran mencapai klimaksnya pada 6 Januari 1784. 

Kemenangan pun tiba ketika pasukan di bawah komando Raja Haji Fisabilillah, berhasil menghancurkan kapal komando kolonial bernama Malakka’s Wal Faren.

Kemenangan ini memaksa pasukan kolonial mundur dari perairan Tanjungpinang. Momentum menjadi simbol kemenangan rakyat atas kolonialisme.

Namun perjuangan tidak berhenti. Beberapa bulan setelahnya, Raja Haji Fisabilillah memimpin serangan ke pusat pertahanan kolonial di Selat Malaka. 

Dalam pertempuran itu, pasukan kerajaan akhirnya kalah oleh kekuatan kolonial yang lebih besar. Raja Haji Fisabilillah pun gugur sebagai syuhada di medan perang.

Pasca kekalahan itu, pada 1785, Tanjungpinang dijadikan basis militer dan pusat administrasi pemerintah kolonial dengan status ibu kota Residen Riau.

Meskipun demikian, momentum kemenangan pasukan Raja Haji Fisabilillah 6 Januari 1784, tetap dikenang sebagai hari lahirnya Kota Tanjungpinang.

Tanggal 6 Januari 1784 secara resmi ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Tanjungpinang, mengacu pada pertempuran heroik Raja Haji Fisabilillah.

Tanjungpinang sebagai Bandar Perdagangan dan Benteng Pertahanan 

Menurut Peneliti Sejarah BRIN Dedi Arman, penetapan hari jadi kota lazimnya merujuk pada peristiwa monumental, seperti pertempuran heroik Raja Haji Fisabilillah.

“Pertempuran Raja Haji Fisabilillah di sekitar perairan Tanjungpinang dan Pulau Penyengat, saat melawan kolonial pada 6 Januari 1784 dijadikan Hari Jadi Kota Tanjungpinang,” terang Dedi. 

Namun, kata Dedi, hal ini bukan berarti Kota Tanjungpinang belum ada sebelumnya, melainkan sebagai penanda simbolis sejarah berdirinya Kota Tanjungpinang.

"Jadi Gedung Daerah, pelabuhan dan lainnya, belum ada saat itu. Setelah perang dan kolonial menguasai Tanjungpinang, baru ada pembangunan," sambung Dedi. 

Selain itu, penamaan Tanjungpinang sendiri berasal dari kondisi geografis berupa tanjung dan keberadaan pohon pinang yang dahulu tumbuh subur di Pulau Bintan.

"Nama Tanjungpinang juga tercatat dalam naskah klasik berjudul Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji dan tercatat dalam Silsilah Melayu Bugis," ungkap Dedi. 

Baca Juga: Kota Lama Tanjungpinang, Jejak Atmosfer Klasik yang Tidak Lekang oleh Waktu

Menurutnya, jauh sebelum konflik antara Kerajaan Riau Lingga dan kolonial, Tanjungpinang terkenal sebagai pusat perdagangan era Kerajaan Johor Riau, sekitar tahun 1507. 

"Dahulunya Tanjungpinang dikenal sebagai pusat perdagangan dan ekonomi di Kepulauan Riau," jelas Dedi.

Keberadaan Tanjungpinang dikenal sejak era Sultan Abdul Jalil Syah memerintah. Saat itu Sultan memerintahkan Laksamana Tun Abdul Jamil, membuka bandar perdagangan di Pulau Bintan.

Maka jadilah Bandar Riau di kawasan Sungai Carang Tanjungpinang yang menjadi simpul perdagangan, ekonomi dan pemerintahan yang penting di Kepulauan Riau.

"Bandar baru tersebut menjadi Bandar yang terkenal ramai dan dinamakan Bandar Riau," terang Dedi. 

Keberadaan Bandar Riau membuat peranan Kota Tanjungpinang menjadi sangat penting sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk lalu lintas perdagangan zaman kerajaan. 

"Selain sebagai pusat perdagangan, Bandar Riau di Hulu Riau Tanjungpinang juga dikenal sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Johor Riau," jelas Dedi. 

Baca Juga: Gedung Gonggong, Ikon Kota Lama Tanjungpinang yang Mulai Terlupakan

Tidak hanya sebagai bandar perdagangan, Tanjungpinang juga terkenal sebagai sentral benteng pertahanan dari ancaman musuh yang berbasis di Malaka. 

Salah satu titik strategis benteng pertahanan Tanjungpinang berada di Bukit Cermin. Satu kawasan yang berperan sebagai lokasi pengintaian utama pada abad ke-18.

Di puncak bukit tertinggi di Tanjungpinang itu, berdiri sebuah cermin besar yang difungsikan sebagai alat pemantau pergerakan kapal asing dan musuh. 

Pantulan cahaya dari cermin tersebut juga menjadi sistem kode bagi pusat pemerintahan di Pulau Penyengat, Istana Kota Rebah di Sungai Carang. 

"Dari cerita rakyat, para penjaga perbatasan Kerajaan Riau Lingga memanfaatkan cermin besar itu untuk mengawasi jalur laut dan jalur Hulu Riau Tanjungpinang," sebut Dedi. 

Tanjungpinang, Magnet Wisata Historis

Dedi mengatakan, salah satu kekhasan yang dimiliki oleh suatu kota adalah adanya kawasan kota lama termasuk Kota Lama Tanjungpinang.

Kawasan historis itu meliputi sepanjang kawasan tepi laut, Jalan Merdeka, Jalan Teuku Umar, Jalan Gambir dan Jalan Pos. kota Lama telah menjadi magnet wisata historis.

Selain itu, lanjut Dedi, kawasan ini juga berkembang menjadi pusat aktivitas ekonomi, ruang publik hingga menjadi lokasi berbagai pertunjukan seni dan budaya.

“Kota Lama Tanjungpinang kini menjadi salah satu magnet baru wisata historis, selain Pulau Penyengat yang sudah mendunia,” jelas Dedi.

Menurut Dedi, Kota Lama Tanjungpinang dan Pulau Penyengat, merupakan poros utama yang saling melengkapi serta memperkuat citra Tanjungpinang sebagai kota historis dan budaya.

Dedi berharap pemerintah daerah terus mengoptimalkan potensi kawasan ini agar menjadi destinasi unggulan dan sumber kesejahteraan masyarakat.

Oleh sebab itu, Dedi juga berharap pemerintah harus terus berupaya menghidupkan kembali gairah perekonomian, bisnis dan pusat budaya sehingga menjadi aset wisata sejarah di Tanjungpinang. 

“Penguatan identitas historis dan budaya tidak hanya penting sebagai pengingat, tapi juga sebagai strategi pembangunan ekonomi berbasis wisata,” jelasnya.

Baca Juga: Sepak Terjang Panglima Perang Legendaris Tanjungpinang, Didaulat Jadi Pahlawan Indonesia

Dedi Arman menambahkan, secara administratif, kini Kota Tanjungpinang yang berada di Pulau Bintan ini, terbagi menjadi empat Kecamatan dan 18 Kelurahan. 

Total luas wilayah sekitar 239,50 kilometer persegi. Letaknya yang strategis di pesisir Pulau Bintan menjadikannya sebagai kawasan penting.

Selain berstatus sebagai ibu kota Provinsi Kepri, Tanjungpinang juga masyhur dan terkenal dengan julukan Kota Gurindam dan Kota Pantun. 

"Hal ini merujuk pada kedekatan Tanjungpinang dengan Pulau Penyengat," sebut Dedi. 

Kini Pulau Penyengat Tanjungpinang, menjadi pusat peradaban Melayu. Di pulau kecil ini pula dimakamkan dua Pahlawan Nasional yaitu Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Haji.

"Pertempuran heroik Raja Haji Fisabilillah menandakan Hari Jadi Kota Tanjungpinang. Gurindam 12 karya Raja Ali Haji, menjadi nasihat hidup," tutup Dedi. (*)

Penulis: Yusnadi Nazar

Posting Komentar